Minggu, 26 Juli 2015

TEMPAT WISATA KALO KE MEDAN (BUKIT KUBU-PASTEURISASI SUSU SAPI BRASTAGI-PENATAPAN-THE HILLS)

Aku sebenernya bukan orang Medan, cuma pendatang yang kebetulan kuliahnya di Medan dan ga kerasa udah 5 tahun tinggal di kota yang 'keras' ini. Di sela-sela kesibukan koas, aku dan teman-temanku memilih untuk berwisata ke daerah brastagi. Ini tempat-tempat yang kami kunjungi, cekidot...

1. Bukit Kubu

Bukit kubu ini sering juga disebut dengan bukit teletubbies. Jaraknya sekitar 1 jam dari medan. Kalo mau masuk kesini bayar per sekitar 10-15rb per orang (agak lupa haha). Nanti bakal dapet satu layang-layang yang bisa dimainin. Oiya kalo kesini enaknya bawa bekel makanan dan tikar dari rumah, jadi biar pikniknya makin kerasa. biar ga gosong kepanasan, kesininya pagi jadi masih adem.






2. Pasteurisasi Susu Sapi Brastagi

Ini tempat pemerahan susu sapi gitu, kalo di jawa kaya di lembang. Kalo beruntung bisa liat sapi2 yang lagi diperah sama bisa minum susu murninya. harga susunya bervariasi dar 4rban-20rban tergantung ukuran kemasan. Beraneka rasa susu dan yogurtnya. bisa dibawa buat oleh2 juga tapi kadaluarsanya max 3 hari sejak dibuka. Rasanya yummyyyyyy....



3. Pasar Buah Brastagi

Disini kamu bisa ke pasar yang isinya beraneka ragam buah-buahan dan sayuran yang fresh dari ladang2 yang petani sini tanam. Harganya mayan lebih murah sih, tapi harus jago nawar juga. Tapi yang pasti buah dan sayurnya fresh. Selain itu kamu juga bisa naik delman keliling kota brastagi. Cukup bayar sekitar 25rb..




4. The Hills

Ini sebenernya resort gitu, tapi view nya bagus banget. kaya kebun binatang mini juga sih isinya tapi lebih ke unggas. Biasanya dipake orang buat foto-foto prewed. Kalo mau masuk bayarnya 100rb per mobil.















5. Penatapan

Disini kamu bisa makan indomie (pas banget sama udara dingin disini). Disini intinya warung2 indomie gitu yang dipinggir tebing jadi kita bisa liat pemandangan hutan. Hati2 banyak monyet..




-All photos are taken by Lenovo S860's camera-

MAKALAH TOF (TETRALOGY OF FALLOT) - KOAS KARDIOLOGI

BAB 1
PENDAHULUAN


Tetralogy of Fallot (TOF) pertama kali dijelaskan pada tahun 1888, terdiri dari defek pada septum ventrikel (VSD), obstruksi di saluran keluar ventrikel kanan, sebuah overriding aorta, dan hipertrofi ventrikel kanan (RVH).1
Tetralogy of Fallot (TOF) terjadi pada 3 dari setiap 10.000 kelahiran hidup. Ini adalah penyebab paling umum dari penyakit jantung sianotik di pasien yang terjadi pada usia neonatal, dan dilaporkan hal ini terjadi hingga sebanyak sepersepuluh dari semua penyakit jantung kongenital.2
Penelitian di Belanda melaporkan bahwa Tetralogy of Fallot (TOF) terjadi sebesar 4% dari semua penyakit jantung kongenital. Insidensi kelahiran bayi dengan TOF dilaporkan sebesar 0.4 per 1.000 lahir hidup bayi. Ini berarti bahwa sekitar 70 anak-anak dengan TOF lahir di Belanda setiap tahun. Tetralogy of Fallot (TOF) tampaknya menjadi suatu gangguan poligenik, dengan sejumlah kecil gen yang berinteraksi. Risiko memiliki  anak dengan penyakit jantung kongenital telah dilaporkan sekitar 3% jika salah satu dari orang tua mengidap TOF.3
CDC memperkirakan setiap tahunnya sekitar 1.575 bayi di AmerikaSerikat yang lahir dengan TOF. Dengan kata lain, sekitar 4 dari setiap 10.000 bayi yang lahir di Amerika Serikat setiap tahunnya lahir dengan TOF. Tetralogy of Fallot (TOF) mewakili 10% dari kasus penyakit jantung kongenital dan merupakan penyebab paling umum dari penyakit jantung kongenital sianotik. Insiden terjadinya TOF lebih tinggi pada laki-laki daripada perempuan. Prevalensi TOF terjadi pada 3-6 bayi untuk setiap 10.000 kelahiran dan merupakan penyebab paling umum penyakit jantung kongenital sianotik. Tetralogy of Fallot (TOF)  menyumbang sepertiga dari semua penyakit jantung kongenital pada pasien yang berusia kurang dari 15 tahun.5
Dalam kebanyakan kasus, TOF adalah sporadik dan nonfamilial. Kejadian pada saudara kandung dari orang tua pasien yang mengalami TOF sekitar 1-5% dan lebih sering terjadi pada laki-laki dari pada perempuan. Kelainan ini berhubungan dengan anomali ekstrakardiak seperti labia skizis dan palatum, hipospadia, kelainan rangka, dan kraniofasial. Sebuah mikro delesi dalam kromosom 22 (22q11) telah diidentifikasi pada pasien dengan TOF sebagai salah satu manifestasi kardiovaskular yang lahir di Amerika Serikat setiap tahunnya yang lahir dengan TOF.5
Di Indonesia sendiri,TOF menempati urutan ke empat (10-15%) dari seluruh penyakit jantung bawaan dan 2/3 dari penyakit jantung bawaan sianotik. Di RSU dr.Soetomo sebagian besar pasien TOF didapat diatas umur 5 tahun dan prevalensi menurun setelah berumur 10 tahun. Dari data tersebut serta kegawatan yang ditimbulkan akibat kelainan TOF ini, maka sebagai dokter umum kita dituntut untuk mampu mengenali tanda kegawatan dan mengetahui tentang penyakit ini. Oleh karena itu, kami mengangkat kasus TOF ini sebagai bahan untuk laporan kasus di Departemen Kardiologi FK USU RSUP H.Adam Malik.



BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Definisi 4-6
             
              Tetralogy of Fallot (TOF) adalah penyakit jantung kongenital dengan kelainan struktur jantung yang muncul pada saat lahir dan terjadi perubahan aliran darah di jantung.  Tetralogy of Fallot (TOF) melibatkan empat kelainan jantung, yaitu (Gambar 2.1) :
a.Stenosis Pulmonal
Hal ini diakibatkan oleh penyempitan dari katup pulmonal, dimana darah mengalir dari ventrikel kanan ke arteri pulmonalis. Secara fisiologis, darah yang sedikit oksigen dari ventrikel kanan akan mengalir melalui katup pulmonal, masuk ke dalam arteri pulmonalis, dan keluar ke paru-paru untuk mengambil oksigen. Pada stenosis pulmonal, jantung harus bekerja lebih keras dari biasanya untuk memompa darah dan tidak cukup darah untuk mencapai paru-paru.
b.Ventricular Septal Defect (VSD)
Jantung memiliki dinding yang memisahkan dua bilik pada sisi kiri dan dua bilik di sisi kanan yang disebut septum. Septum berfungsi untuk mencegah bercampurnya darah yang miskin oksigen dengan darah yang kaya oksigen diantara kedua sisi jantung. Pada VSD dijumpai lubang di bagian septum yang memisahkan kedua ventrikel di ruang bawah jantung. Lubang ini memungkinkan darah yang kaya oksigen dari ventrikel kiri untuk bercampur dengan darah yang miskin oksigen dari ventrikel kanan.
c. Overriding Aorta
Ini merupakan kelainan pada aorta yang merupakan arteri utama yang membawa darah yang kaya oksigen ke seluruh tubuh. Secara anatomi jantung yang normal, aorta melekat pada ventrikel kiri. Hal ini memungkinkan hanya darah yang kaya oksigen mengalir ke seluruh tubuh. Pada TOF, aorta berada di antara ventrikel kiri dan kanan, langsung di atas VSD. Hal ini mengakibatkan darah yang miskin oksigen dari ventrikel kanan mengalir langsung ke aorta bukan ke dalam arteri pulmonalis kemudian ke paru-paru.
d. Hipertrofi Ventrikel Kanan (RVH)
Kelainan ini terjadi jika ventrikel kanan menebal karena jantung harus memompa lebih keras dari yang seharusnya agar darah dapat melewati katup pulmonal yang menyempit. Obstruksi aliran darah arteri pulmonal biasanya pada kedua infundibulum ventrikel kanan dan katup pulmonal. Obstruksi total dari aliran ventrikel kanan (atresia pulmonal) dengan VSD diklasifikasikan dalam bentuk ekstrim dari TOF.


Gambar 2.1Gambaran Jantung Normal dan TOF
Darah dari kedua ventrikel dipompa ke seluruh tubuh, termasuk darah yang miskin oksigen. Hal ini mengakibatkan bayi dan anak-anak dengan TOF sering memiliki warna kulit biru yang disebut sianosis karena miskinnya oksigen di dalam darah. Saat lahir kemungkinan bayi tidak terlihat biru tetapi kemudian bisa terjadi episode mendadak yang disebut spell ditandai dengan kulit kebiruan saat menangis atau makan.
Hypoxic spell (cyanotic spell/hypercyanotic spell/”tet” spell) pada TOF biasanya terjadi pada infant  dengan insidensi puncaknya pada usia 2-4 bulan. Adapun karakteristik hypoxic spell yaitu ditandai dengan paroksismal hiperpnea (respirasi yang cepat dan dalam), irritabilitas dan menangis yang berkepanjangan, sianosi yang meningkat, dan menurunnya intensitas murmur. Hypoxic spell ini biasanya terjadi pada pagi hari setelah menangis, makan, atau defekasi. Hypoxic spell yang berat dapat menyebabkan kejang, kehilangan kesadaran, cerebrovascular accident, bahkan hingga kematian. 

2.2 Etiologi
Penyebab penyakit jantung kongenital sebagian besar tidak diketahui, meskipun penelitian genetik menunjukkan etiologi multifaktorial. Faktor prenatal yang berhubungan dengan insiden yang lebih tinggi pada TOF termasuk rubella virus atau penyakit virus lainnya selama kehamilan, gizi buruk prenatal, kebiasaan ibu minum alkohol, merokok, usia ibu yang lebih dari 40 tahun, dan diabetes.7

2.3 Manifestasi Klinis dan Patofisiologi6
Bayi dengan obstruksi ventrikel kanan yang ringan, awalnya mungkin terlihat dengan gagal jantung yang disebabkan oleh pirau ventrikel dari kiri ke kanan. Seringkali sianosis tidak muncul pada saat lahir. Tetapi dengan adanya dijumpai hipertrofi ventrikel kanan dan gangguan pertumbuhan dan perkembangan pasien, sianosis terjadi di tahun pertama kehidupan yang dapat terlihat di selaput lendir bibir, mulut, dan kuku.
Pada bayi dengan obstruksi ventrikel kanan yang berat, aliran darah paru tergantung pada aliran melalui duktus arteriosus. Pada saat duktus mulai menutup dalam 1 jam atau beberapa hari kehidupan, sianosis berat dan kolaps sirkulasi dapat terjadi. Anak dengan sianosis yang berlama-lama dan belum menjalani operasi mungkin memiliki kulit berwarna biru kehitaman, sklera abu-abu dengan pembuluh darah membesar, dan ditandai dengan jari tabuh.
Salah satu manifestasi lain adalah dispnoe yang biasanya timbul saat beraktivitas. Pada saat terjadi dispnoe, anak akan mengambil posisi jongkok untuk mengurangi dispnoe dan anak biasanya dapat melanjutkan aktivitas fisik dalam beberapa menit.
        Hipersianotik paroksismal merupakan masalah yang dapat dijumpai selama tahun pertama dan kedua kehidupan. Bayi menjadi hipersianosis dan gelisah, takipnoe, dan sinkop.
        Spell paling sering terjadi di pagi hari yang berkaitan dengan pengurangan aliran darah paru yang sudah terganggu dan bila berkepanjangan mengakibatkan hipoksia sistemik yang berat  dan asidosis metabolik. Spell dapat berlangsung dari beberapa menit sampai beberapa jam namun jarang berakibat fatal yang ditandai dengan keadaan umum lemah dan setelah serangan pasien tertidur. Spell yang berat dapat mengakibatkan ketidaksadaran dan kadang-kadang ditemukan kejang dan hemiparese.
        Bayi dengan sianosis yang ringan lebih rentan untuk terjadinya spell karena tidak memperoleh mekanisme homeostatis untuk mentolerir penurunan cepat saturasi oksigen arteri seperti polisitemia.
2.4 Diagnosis8-11
 Ada beberapa langkah diagnostik untuk menegakkan diagnosa TOF, yaitu dari mulai anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada bayi dengan TOF dari sejak lahir atau kemudian sesudah lahir sudah didapati keluhan biru. Selain itu juga ada keluhan sesak nafas pada saat beraktivitas. Bayi dengan TOF ringan (pink fallot) biasanya asimtomatik namun terkadang dapat menunjukkan tanda gagal jantung, seperti pada VSD besar dengan pirau dari kiri ke kanan. Pasien dengan atresia pulmonal tampak sianosis pada saat lahir atau segera setelah lahir.
Dari pemeriksaan fisik, didapati sianosis dengan derajat yang bervariasi, nafas cepat, jari tabuh. Selain itu,  tampak peningkatan aktifitas ventrikel kanan sepanjang tepi sternum dan thrill sistolik di bagian atas dan tengah tepi sternum kiri. Ejeksi yang berasal dari aorta dapat terdengar. Bunyi jantung II biasanya tunggal, keras, bising ejeksi sistolik (grade 3-5/6) pada bagian atas dan tengah tepi sternum kiri.
Dari pemeriksaan penunjang, dengan menggunakan pemeriksaan foto thoraks akan didapatkan gambaran hipertrofi ventrikel kanan yang ditandai dengan apex jantung yang terangkat dan juga dijumpai penurunan ukuran dari segmen arteri pulmonal sehingga akan terlihat gambaran jantung yang khas seperti sepatu boot (boot-shaped). Gambaran pembuluh darah pulmonal biasanya berkurang/cekung (oligemi) karena penurunan aliran yang melalui sirkulasi pulmonal.
Dari elektrokardiografi didapatkan hipertrofi ventrikel kanan (RVH) dengan deviasi aksis ke kanan (RAD). Kadang disertai hipertrofi atrium kanan.
Dari ekokardiografi tampak defek septum ventrikel jenis perimembranus dengan overriding aorta kurang lebih 50% dan penebalan infundibulum ventrikel kanan. Pada ekokardiografi 2-dimensi dapat ditentukan tipe VSD (perimembranus subaortik atau subarterial doubly committed), overriding aorta, deviasi septum infundibular ke anterior, dimensi dan fungsi ventrikel kiri, dan tentukan konfluensi dan diameter cabang-cabang arteri pulmonalis. Sedangkan, dari ekokardiografi berwarna dan Doppler, dapat dilihat aliran dari ventrikel kanan ke aorta melalui VSD serta dapat dihitung perbedaan tekanan ventrikel kanan dan arteri pulmonalis (beratnya PS).
Dari kateterisasi jantung dan angiokardiogram TOF, dilakukan terutama untuk menilai arteri pulmonalis dengan cabang-cabangnya, anomali arteri koroner baik asal maupun jalannya, dan defek septum ventrikel tambahan bila ada. Dari angiografi ventrikel kanan atau arteri pulmonalis dapat dinilai konfluensi dan diameter kedua arteri pulmonalis dan ada tidaknya stenosis pada perabangan arteri pulmonalis atau di perifer. Sedangkan angiografi aorta dilakukan bila diperlukan untuk melihat kelainan arteri koronaria atau bila diduga ada kolateral.
Pemeriksaan sadap jantung dilakukan terutama untuk menilai konfluensi dan ukuran arteri pulmonalis serta cabang-cabangnya, mencari anomali arteri koroner, serta melihat ada tidaknya VSD tambahan dan melihat ada tidaknya kolateral dari aorta langsung ke paru (anak besar/dewasa).

2.5 Penatalaksanaan9-11
Tujuan pokok dalam menangani TOF adalah koreksi primer yaitu penutupan defek septum ventrikel dan pelebaran infundibulum ventrikel kanan. Syarat untuk keberhasilan primer adalah ukuran arteri pulmonalis dan cabang-cabangnya yang harus cukup besar, minimal 1/3 dari aorta desenden. Selain itu juga tidak ada arteri koroner yang menyilang alur keluar ventrikel kanan dan ukuran ventrikel kiri harus cukup besar agar mampu menampung darah sistemik. Umumnya koreksi primer dilaksanakan pada usia kurang lebih 1 tahun, dengan perkiraan berat badan sudah mencapai sekurangnya 8kg.
Bila syarat-syaratnya untuk keberhasilan koreksi primer belum terpenuhi, maka dilakukan tindakan paliatif yaitu membuat pirau antara sistemik dengan arteri pulmonalis, misalnya Blalock-Tausig Shunt. Jenis operasi shunt ini adalah membuat pirau antara arteri subklavia dengan cabang arteri pulmonalis. Bila usia belum mencapai 1 tahun atau berat badan < 8kg, namun anak sering mengalami spel sianotik atau terdapat desaturasi oksigen yang hebat (<70%), maka perlu dilakukan tindakan paliatif lebih dahulu.
Sebelum dilakukan terapi definitif yakni operasi, terapi paliatif bisa dilakukan. Hal ini dilakukan dengan cara membuat komunikasi anatomi antara aorta dengan arteri pulmonalis sehingga terbentuk aliran dari kiri-kanan (left-to-right shunt) untuk meningkatkan aliran darah pulmonal. Beberapa prosedur sekarang ini biasa digunakan pada infant yang direncanakan akan menjalani perbaikan definitif di usia yang lebih besar. Operasi yang lengkap pada pasien TOF yaitu menutup VSD dan pembesaran dari infundibulum pulmonal dengan menggunakan pericardial patch. Perbaikan secara elektif biasanya dilakukan pada usia 6-12 bulan untuk menurunkan kemungkinan komplikasi di masa yang akan datang. Kebanyakan pasien TOF yang sudah menjalani perbaikan yang sukses akan asimtomatik hingga dewasa. Namun demikian pada beberapa pasien, antibiotik diperlukan untuk mencegah endokarditis.
Dalam klinik, spell sianotik diatasi dengan posisi lutut-dada pemberian oksigen dan obat seperti morfin atau propanolol. Prinsip pengobatannya adalah mengurangi konsumsi oksigen meningkatkan pengikatan oksigen, dan mengurani aliran pirau kanan ke kiri dengan mengurangi aliran balik vena sistemik dan meningkatkan aliran darah ke paru.
Posisi lutut-dada (knee-chest position/elbow position) yaitu posisi dimana lutu didekatkan pada dada dan sikunya dan anak ditenangkan. Dengan cara ini aliran balik vena sistemik akan berkurang karena sebagian darah akan terkumpul di ekstremitas bawah dan tahanan vaskular sistemik akan meningkat sehingga aliran pirau kanan ke kiri akan berkurang dan aliran darah ke paru akan meningkat. Oksigen 100% yang diberikan dengan sungkup diharapkan oksigenasi akan membaik
Untuk sedasi dapat diberikan injeksi subkutan morfin sulfat 0,1mg/kgBB atau intravena yang dapat diulang setelah 10 menit. Morfin akan mendepresi pusat pernafasan dan menghilangkan refleks hiperventilasi. Dapat juga diberikan obat sedasi yang lain misalnya diazepam 0,1mg/kgBB iv,im, rektal. Bila serangannya berat atau menetap maka akan terjadi asidosis metabolik. Asidosis ini akan memperberat keadaan dan hiperventilasi. Berikan intravena natrium bikarbonas 3-5mEq/kgBB secara perlahan-lahan.
Selanjutnya adapun dosis propanolol (per oral) dengan dosis 0,5-1,5 mg/kgBB/6-8jam sampai dilakukan operasi. Dengan obat ini diharapkan spasme otot infundibuler berkurang dan frekuensi spel menurun. Bila spell menetap atau berulang, dapat diberikan injeksi propanolol intravena (0,02-0,1 mg/kgBB per dosis selama 10 menit. Propanolol lalu dilanjutkan dengan pemberian oral 0,2-0,5mg/kgBB/6 jam. Jangan diberikan bila ada riwayat asma. Vasopresor juga dapat diberiakan yaitu infus Fenilefrin (Neo-Synephrine) 2-5mg/kgBB/menit atau intravena bolus 0,1mg/kgBB. Dapat juga diberikan Metaraminol (aAramien) 50mg/100mm. jangan memakai epinefrin atau norepinefrin karena vasopresor akan meningkatkan tahanan vascular sistemik dan pada pemberiannya tekanan darah harus dipantau dengan. Selain itu, keadaan pasien dengan riwayat spel hipoksia keadaan umumnya harus diperbaiki,  misalnya koreksi anemia, dehidrasi atau infeksi yang semuanya akan meningkatkan frekuensi spell.
Bila spell hipoksia tidak teratasi dengan pemberian propanolol dan keadaan umumnya memburuk, maka harus secepatnya dilakukan operasi. Bila spell berhasil diatasi dengan propanolol dan kondisi bayi cukup baik untuk menunggu, maka operasi koreksi total dilakukan pada usia sekitar 1 tahun.

2.6 Prognosis
Prognosis cukup baik pada yang dioperasi pada usia anak-anak. Prognosis jangka panjang kurang baik apabila pasien dioperasi pada usia dewasa yang sudah terjadi gangguan fungsi ventrikel kiri akibat hipoksia yang lama serta pada pasien pasca bedah sehingga terjadi gagal ventrikel kanan. Tanpa intervensi bedah sebagian besar akan meninggal pada masa anak dengan survival rate : 66 persen pada usia 1 tahun,  40 persen pada usia 3 tahun, 11 persen pada usia 20 tahun, dan 6  persen pada usia 30 tahun, dan 3 persen pada usia 40 tahun (Gambar 2.2).11


Gambar 2.2 Survival rate of TOF
2.7 Komplikasi

Bila tidak dioperasi  maka akan terjadi hipoksia organ-organ tubuh yang kronis, polisitemia, emboli sistemik, dan abses otak. Sedangkan pada pasien pasca bedah, bisa timbul gagal jantung kongestif pada fungsi LV yang buruk atau residual VSD besar, gagal jantung kanan, efusi perikardial atau efusi pleura pada residual PS atau PI yang berat, serta sindroma post kardiotomi.11

MAKALAH TORTIKOLIS - KOAS THT

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
            Tortikolis merupakan leher yang terputar atau keadaan dimana otot-otot leher terkontraksi disertai perputaran leher.1 Tortikolis dapat terjadi sejak lahir, congenital Muscular Torticollis (CMT), atau didapat saat dewasa, acquired torticollis. Congenital muscular torticollis (CMT) merupakan kelainan musculoskeletal kongenital terbanyak ketiga setelah dislokasi panggul dan clubfoot.7 Kelainan kongenital ini ditandai dengan pemendekan otot sternokleidomastoideus unilateral.4
            Insidensi CMT kurang dari 2% dan diyakini disebabkan oleh trauma lokal pada jaringan lunak leher sebelum atau selama persalinan, khususnya pada persalinan dengan presentasi bokong dan persalinan sulit yang dibantu dengan forceps. Sedangkan, pada orang dewasa, setiap abnormalitas atau trauma tulang servikal bisa menyebabkan tortikolis termasuk trauma minor (tegangan/regangan), fraktur, dislokasi, dan subluxasi, sering menyebabkan spasme dari otot leher.2
            Manifestasi klinis yang didapat dari pemeriksaan yaitu kepala miring ke arah yang sakit (setelah menyingkirkan penyebab lain seperti anomali tulang, diskitis, limfadenitis), leher menjadi tidak seimbang dan pendek pada bagian yang fibrosis, di sisi yang fibrosis telinga mendekati bahu, garis mata dan garis bahu membentuk sudut (normalnya sejajar), perkembangan muka dapat menjadi asimetris, dan terdapat benjolan berbatas tegas yang melibatkan satu atau kedua caput sternocledomastoideus.4,6
            Semakin muda usia pasien tortikolis, semakin baik prognosisnya. Pada usia anak dibawah satu tahun, pengobatan secara konservatif menunjukkan hasil yang memuaskan. Sedangkan, waktu yang optimal untuk operasi adalah antara 1-4 tahun.4,7 Mengingat pentingnya diagnosa sedini mungkin pada pasien dengan tortikolis, maka penting bagi para calon dokter umum untuk mengetahui mengenai penyakit ini lebih jauh. Oleh karena itu, makalah ini akan membahas mengenai tortikolis.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
            Tortikolis merupakan leher yang terputar atau keadaan dimana otot-otot leher terkontraksi disertai perputaran leher.1 Tortikolis bisa juga diartikan sebagai istilah umum untuk berbagai kondisi dystonia kepala dan leher , yang menampilkan variasi tertentu dalam gerakan kepala ( komponen phasic ) ditandai dengan arah gerakan (horizontal , seolah-olah mengatakan " tidak" , atau vertikal , seolah-olah mengatakan " iya "). Tortikolis berasal dari bahasa Latin , tortus , berarti memutar dan collum , berarti leher .2

2.2 Anatomi Otot Leher
Otot leher ada yang melekat pada tulang hyoid dan ada yang tidak melekat pada tulang hyoid. Otot yang tidak melekat pada tulang hyoid yaitu : (1) Musculus Sternocleidomastoideus, origo di  manubrium sterni dan clavicula (1/3 medial) serta insersio di processus mastoideus os temporalis. Adapun aksinya yakni bilateral-flexi kepala, rotasi unilateral kepala, memalingkan wajah ke sisi sebaliknya. Otot ini dipersarafi oleh nervus accessorius (N XI); (2) Musculus scalenus anterior dan scalenus medius, origo di processus transverses vertebra cervicalis bagian atas dan insersio di costa 1. Aksinya adalah fleksi leher dan elevasi costa 1. Otot ini dipersarafi oleh ramus ventralis nervus cervicalis (Gambar 2.1 dan Gambar 2.2).3
           

Gambar 2.1 Otot leher ( Tampak lateral)3
Gambar 2.2 Otot leher ( Tampak anterior)3
Otot leher yang melekat pada hyoid terbagi menjadi dua yaitu suprahyoid dan infrahyoid. Otot yang berada infrahyoid yaitu : (1) Musculus Omohyoid (otot ini memiliki dua belly yang dihubungkan dengan tendon intermediet), origo untuk inferior belly dari scapula-medial ke suprascapular notch (tendon intermediet dihubungkan ke klavikula dan rib 1. Insersionya pada tulang hyoid. Aksinya yaitu untuk menekan tulang hyoid. Omohyoid dipersarafi oleh ansa cervicalis; (2) Musculus Sternohyoid , origonya berasal dari sternum-manubrium klavikula dan insersionya di tulang hyoid. Aksinya untuk mendepresi tulang hyoid. Sternohyoid dipersarafi ansa cervicalis; (3) Musculus Sternothyroid, origonya dari sternum-manubrium dan insersionya di kartilago tiroidea. Aksinya adalah untuk depresi  kartilago tiroidea, depresi tulang hyoid dan laring secara indirek. Sternothyroid dipersarafi oleh ansa cervicalis; (4) Musculus Thyrohyoid, origo dari kartilago tiroidea dan insersio di tulang hyoid. Aksinya untuk depresi tulang hyoid dan elevasi laring. Thyrohyoid dipersarafi oleh C1 dan Nervus hipoglossus ( N X11) (Gambar 2.3 dan Gambar 2.4).3

Gambar 2.3 Otot Infrahyoid dan suprahyoid3
Otot leher yang berada suprahyoid yaitu : (1) Musculus Digastricus (memiliki dua belly), origo posterior belly dari tulang temporal-mastoid notch (medial terhadap processus mastoideus) sedangkan origo anterior belly  dari bagian dalam mandibula. Insersionya pada tulang hyoid melalui tendon intermediet. Aksinya untuk elevasi tulang hyoid dan depresi mandibula. Posterior belly dipersarafi oleh nervus facialis ( N VII) dan anterior belly dipersarafi oleh nervus trigeminus (N V3); (2) Muculus Stylohyoid, origo di tulang temporal-processus styloideus dan insersio di tulang hyoid. Aksinya untuk elevasi tulang hyoid dan dipersarafi oleh nervus facialis (N VII); (3) Musculus mylohyoid, origo dari mandibula-mylohyoid line dan insersio di tulang hyoid. Aksinya untuk elevasi tulang hyoid serta mengangkat dasar mulut selama menelan. Otot ini dipersarafi ileh nervus trigeminus (N V3); (4) Musculus Geniohyoid, origonya dari bagian dalam mandibula dan insersio di tulang hyoid. Aksinya untuk elevasi tulang hyoid dan membawa hyoid ke depan. Otot ini dipersarafi oleh C1, nervus hypoglossus ( N XII) (Gambar 2.3 dan Gambar 2.4).3

Gambar 2.4 Otot Infrahyoid dan Suprahyoid serta aksinya3
2.3 Etiologi2
   Etiologi tortikolis terbagi menjadi etiologi lokal, etiologi kompensasi, dan etiologi sentral. Masing-masing akan dijelaskan dibawah ini.
a.       Etiologi lokal
Pada orang dewasa, setiap abnormalitas atau trauma tulang servikal bisa menyebabkan tortikolis termasuk trauma minor (tegangan/regangan), fraktur, dislokasi, dan subluxasi, sering menyebabkan spasme dari otot leher. Penyebab lainnya yakni infeksi, spondylosis, tumor, jaringan parut. Selain itu, infeksi saluran nafas bagian atas dan infeksi jaringan lunak di leher bisa menyebabkan tortikolis sekunder terhadap kontraktur otot atau adenitis.
Pada anak usia 2-4 tahun biasanya tortikolis sering disebabkan oleh abses retrofaringeal. Tortikolis juga bisa terjadi akibat infeksi yang mengikuti trauma atau infeksi di sekitar jaringan atau struktur leher termasuk faringitis, tonsillitis, epiglottitis, sinusitis, otitis media, mastoiditis, abses nasofaring, dan pneumonia lobus atas.

b.      Etiologi kompensasi
Tortikolis sering merupakan mekanisme kompensasi dari penyakit atau symptom lain seperti strabismus dengan parese nervus IV, nistagmus kongenital, dan tumor fossa posterior.

c.       Etiologi sentral
Tortikolis sering juga disebabkan oleh reaksi distonia sekunder terhadap obat-obatan seperti phenotiazin, metoclopramide, haloperidol, carbamazepine, phenytoin, and terapi L-dopa. Pada wamita usia 30-60 tahun idiopatik spasmodic tortikolis meningkat. Sedangkan, pada anak etiologinya torsion dystonia, drug-induced dystonia, dan cerebral palsy.


2.4 Patofisiologi
2.4.1 Congenital Torticollis
Tortikolis kongenital  jarang dijumpai (insidensi <2%) dan diyakini disebabkan oleh trauma lokal pada jaringan lunak leher sebelum atau selama persalinan. Trauma otot sternokleidomastoideus saat proses persalinan menyebabkan fibrosis atau malposisi intrauterine yang menyebabkan pemendekan dari otot sternokleidomastoideus. Bisa juga terjadi hematom yang diikuti dengan kontraktur otot. Biasanya anak-anak seperti ini lahir dengan persalinan sungsang atau menggunakan forseps. Penyebab lain yang mungkin yakni herediter dan oklusi arteri atau vena yang menyebabkan fibrosis jaringan didalam otot sternokleidomastoideus.2,4,5
2.4.2 Acquired Torticollis
Patofisiologi dari torticollis yang didapat adalah tergantung dari penyakit yang mendasarinya. Spasme dari otot leher yang menyebabkan tortikolis merupakan hasil dari injury atau inflamasi dari otot cervical atau nervus kranialis dari proses penyakit yang berbeda.2
Tortikolis akut bisa disebabkan oleh trauma tumpul pada kepala dan leher atau dari kesalahan posisi saat tidur. Tortikolis akut biasanya akan sembuh dengan sendirinya dalam beberapa hari dampai minggu atau setelah menghentikan obat pada tortikolis akut yang disebabkan oleh obat-obatan seperti dopamine reseptor blocker, metoclopramide, phenytoin, carbamazepin.2
Atlantoaxial rotary subluxation (AARS) C1 pada C2 memiliki gejala klinis yang sama dengan tortikolis, biasanya terjadi pada anak-anak dan setelah trauma minor, operasi faring, proses inflamasi, atau infeksi saluran nafas bagian atas. Hal ini diduga dipicu oleh edema retropharyngeal menyebabkan kelemahan ligamen dan struktur di tingkat atlantoaxial, memungkinkan deformitas rotasi. Berbeda dengan tortikolis otot kongenital, kepala miring jauh dari otot sternokleidomastoideus yang terkena. Dikenal sebagai posisi "cock robin", kepala rotasi ke sisi yang berlawanan dengan dislokasi dan lateral fleksi ke arah yang berlawanan. Pasien juga dapat mengeluh sakit oksipital unilateral.2
Idiopatik spasmodik tortikolis (IST) adalah bentuk tortikolis yang dan progresif , diklasifikasikan sebagai dystonia fokus. Etiologi tidak jelas, meskipun diduga ada lesi thalamus. Hal ini ditandai dengan etiologi nontraumatic terdiri dari episodik tonik dan / atau kontraksi involunter klonik otot leher. Gejala berlangsung lebih dari 6 bulan dan menghasilkan cacat somatic dan psikologis.2
Benign paroxysmal tortikolis adalah kondisi pada bayi yang ditandai dengan episode berulang dari kepala miring dengan muntah, pucat, irritabilitas, ataksia, atau mengantuk dan biasanya terjadi dalam beberapa bulan pertama kehidupan dan akan sembuh dengan sendirinya. 2
Sebagai penyakit neurodegeneratif, tortikolis, atau cervical dystonia idiopatik, diyakini muncul dari kelainan sirkuit ganglia basalis yang berasal dari kerentanan selektif struktur ini untuk proses biokimia abnormal yang mengarah ke disfungsi neuronal. Beberapa indikasi keterlibatan sirkuit dopamine-secreting berasal dari temuan rendahnya tingkat metabolit dopamin dalam cairan serebrospinal (CSF).2

2.5 Diagnosis
            Pada tortikolis kongenital, penegakkan diagnosis tortikolis harus berdasarkan riwayat penyakit sebelumnya dan pemeriksaan fisik infant (Gambar 2.5) . Didapati riwayat kelahiran sukar atau sungsang serta trauma pada proses persalinan seperti fraktur klavikula pada tortikolis kongenital. Selain itu, perinatal asfiksia, jaundice, kejang, penggunaan obat-obatan, gastroesofageal reflux disease (GERD), atau sindrom Sandifer juga turut menjadi penyebabnya. Manifestasi klinis yang didapat dari pemeriksaan yaitu kepala miring ke arah yang sakit (setelah menyingkirkan penyebab lain seperti anomali tulang, diskitis, limfadenitis), leher menjadi tidak seimbang dan pendek pada bagian yang fibrosis, di sisi yang fibrosis telinga mendekati bahu, garis mata dan garis bahu membentuk sudut (normalnya sejajar), perkembangan muka dapat menjadi asimetris, dan terdapat benjolan berbatas tegas yang melibatkan satu atau kedua caput sternocledomastoideus. Benjolan ini bersifat firm, tidak nyeri, terdiri dari jaringan fibrotic dengan deposit kolagen dan migrasi fibroblast disekitar serat sternokleidomastoideus yang atrofi.4,6

Gambar 2.5 Pemeriksaan klinis tortikolis4

            Selanjutnya, tipe dari deformitas harus diselidiki, sebagaimana kombinasi dan fleksi dan rotasi, apakah deformitas tersebut rigid atau fleksibel, dan apakah bisa sembuh dengan sendirinya atau tidak. Kondisi kelainan musculoskeletal lainnya seperti hip dysplasia harus diperiksa. Selain itu, pemeriksaan optalmologi perlu dilakukan karena dapat mengetahui ketidakseimbangan dari otot ekstra ocular yang merupakan faktor penyebab dari tortikolis.4
            Pemeriksaan ultrasonografi berguna sebagai alat diagnostik yang penting dan untuk menentukan prognosis. Hal ini ditandai dengan sensitivitas (95.83%) dan spesifisitas (83.33%) dan dapat membedakan staging dari tortikolis kongenital. Pemeriksaan penunjang yang lebih modern dan canggih ialah dengan menggunakan magnetic resonance imaging (MRI). Pada beberapa studi dilaporkan bahwa hasil temuan dari MRI memiliki korelasi dengan hasil histopatologi.4

2.6 Penatalaksanaan
2.6.1 Terapi Fisik
Peregangan secara pasif dan manual pada otot sternokleidomastoideus sebelum usia 12 bulan adalah terapi fisik yang paling efektif. Hal ini dapat dilakukan oleh orang tua dengan cara satu tangan berada pada kepala anak dan bahu ipsilateral, kemudian fleksi lateral dari kepala anak dilakukan berbarengan dengan rotasi ke arah yang berlawanan. Cara ini dilakukan setidaknya dua kali dalam satu hari, dilakukan 10-15 peregangan, dengan waktu dilatasi mencapai 30 detik. Dengan latihan yang dilakukan secara benar dan teratur setiap hari, didapatkan hasil yang memuaskan yakni lebih dari 90%, dan rekurensi 2%. 4
Selain itu, dapat juga dilakukan terapi fisik berupa terapi paraphino dan thermoterapi, serta iontophoresis dan terapi microcurrent. Terapi fisik yang lain yaitu dengan masase pada otot leher dan jaringan subkutan yang kaku dapat mengurangi nyeri, mobilisasi sendi, dan terapi kraniosakral. Pada anak yang lebih besar dapat digunakan penyangga (torticollis brace) yang bersifat membantu terapi.4
2.6.2 Toksin Botulinum
Pada beberapa studi dilaporkan penggunaan Injeksi toksin botulinum untuk segala jenis distonia servikal. Metode ini aman dan efektif pada anak dan remaja. Toksin ini akan menurunkan spasme dan dapat meregangkan otot yang kaku secara manual. Beberapa kasus tortikolis dewasa berhasil diatasi dengan toksin botulinum ini. Akan tetapi, tidak ada bukti ilmiah yang adekuat untuk keamanan dan efisiensi dari pengobatan modern ini.4
2.6.3 Operasi
Penatalaksanaan operatif dianjurkan untuk anak dengan usia diatas 12-18 bulan yang tidak berhasil dengan penatalaksanaan secara konservatif atau dijumpai wajah yang asimetris dan plagiocephaly (Gambar 2.6). Operasi untuk memanjangkan otot sternokleidomastoideus yang kontraktur dijumpai pada 3% kasus. Operasi sangat direkomendasikan jika didapati keterbatasan gerakan sampai 30 derajat serta pada kasus deformitas tulang wajah yang kompleks.4

Gambar 2.6 Penatalaksanaan tortikolis secara operatif 4
            Menurut Ling et al, waktu yang optimal untuk operasi adalah antara 1-4 tahun. Hal ini didasari pada kebanyakan anak-anak dibawah usia 1 tahun respon terhadap terapi konservatif. Namun demikian, untuk kasus pada dewasa dengan tortikolis kongenital yang terabaikan, dapat dilakukan reseksi unipolar pada ujung distal dari otot sternikleidomastoideus. Hasilnya didapati jarak dari gerakan leher dan  kemiringan kepala meningkat dan secara kosmetik tampilannya membaik (Gambar 2.7).7

Gambar 2.7 Gambaran preoperatif dan postoperatif
pada pasien tortikolis dewasa7

2.7 Prognosis
            Semakin muda usia pasien tortikolis, semakin baik prognosisnya. Hasil yang positif didapatkan pada sekitar 90% kasus yang melakukan latihan peregangan setiap hari dengan cara yang benar. Rekurensinya sekitar diaras 2%. Faktor prognostik yang negatif didapati pada kasus yang terdapat massa pada sternokleidomastoideus, rotasi awal dari posisi netral lebih dari 15 derajat, serta pengobatannya baru dimulai setelah usia satu tahun.4,6
            Komplikasi dari operasi adalah cedera nervus aksesorius. Angka relapsnya mencapai 1.2%. Pada suatu studi didapatkan hasil setelah operasi 88.1% sangat baik, 8.3% baik, dan 3.6% cukup baik sampai kurang baik. Hasil operasi ini dipengaruhi oleh usia dan jarak rotasi leher. Waktu yang optimal untuk operasi adalah antara 1-4 tahun, meskipun hasil yang baik juga didapati pada usia pasien di atas 10 tahun saat operasi.7

BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Tortikolis merupakan leher yang terputar atau keadaan dimana otot-otot leher terkontraksi disertai perputaran leher.1 Tortikolis dapat terjadi sejak lahir, congenital muscular torticollis (CMT), atau didapat saat dewasa, acquired torticollis.7 Kelainan kongenital ini ditandai dengan pemendekan otot sternokleidomastoideus unilateral.4
Etiologi tortikolis terbagi menjadi etiologi lokal, etiologi kompensasi, dan etiologi sentral. Patofisiologinya dapat terjadi secara bawaan atau didapat, tergantung dari penyakit yang mendasarinya.2 Manifestasi klinisnya berupa kepala miring ke arah yang sakit (setelah menyingkirkan penyebab lain seperti anomali tulang, diskitis, limfadenitis), leher menjadi tidak seimbang dan pendek pada bagian yang fibrosis, di sisi yang fibrosis telinga mendekati bahu, garis mata dan garis bahu membentuk sudut (normalnya sejajar), perkembangan muka dapat menjadi asimetris, dan terdapat benjolan berbatas tegas yang melibatkan satu atau kedua caput sternocledomastoideus. Selain dari pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi USG dan MRI dapat digunakan sebagai penunjang.4,6
Pengobatan tortikolis yang utama adalah terapi konservatif, pada tortikolis kongenital. Terapi fisik berupa peregangan otot yang dilakukan setiap hari memiliki dampak yang bagus. Sedangkan, untuk kasus yang gagal dengan terapi konservatif dapat dilakukan tindakan operasi, tenotomi. Hasil operasi dapat meningkatkan kualitas hidup pasien, akan tetapi hal ini sangat dipengaruhi oleh usia pasien.4,7

DAFTAR PUSTAKA

1.         Dorland. 1998. Kamus Saku Kedokteran Dorland Edisi 25. Jakarta : EGC. h 1104
2.         Kruer, M.C., et al. Torticollis. Available at http://emedicine.medscape.com/article/1152543-overview# [Accesed 16th May 2015]
3.         Netter. Interactive Atlas of Human Anatomy. Elsevier. p 91-96
4.         Angoules, et al. 2013. Congenital Muscular Torticollis: An Overview. Available at http://dx.doi.org/10.4172/2329-9126.1000105 [Accesed 16th May 2015]
5.         The Pediatric Orthopaedic Society of North America. 2015. Torticollis. Available at http://www.posna.org/education/StudyGuide/torticollis.asp [Accesed 16th May 2015]
6.         Apley, A. Graham dkk. 1995. Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur. Jakarta : Widya Medika
7.         Chang et al. 2013. Case report: A Surgical Treatment for Adult Muscular Torticollis. Hindawi. Available at http://www.hindawi.com/journals/crior/2013/965693/ [Accesed 16th May 2015]