BAB 1
PENDAHULUAN
Imunisasi atau
vaksinasi merupakan teknologi yang sangat berhasil di dunia kedokteran yang
oleh Katz (1999) dikatakan sebagai “sumbangan ilmu pengetahuan yang terbaik
yang pernah diberikan para ilmuwan di dunia ini”, satu upaya yang paling
efektif dan efisien dibandingkan dengan upaya kesehatan lainnya. Pada tahun 1974, cakupan imunisasi baru
mencapai 5% dan setelah dilaksanakannya imunisasi global yang disebut dengan expanded program in immunization (EPI)
cakupan terus meningkat dan hampir setiap tahun minimal sekitar 3 juta anak
dapat terhindar dari kematian dan sekitar 750.000 anak terhindar dari
kecacatan. Namun demikian, masih ada satu dari empat orang anak yang belum
mendapatkan vaksinasi dan dua juta anak meninggal setiap tahunnya karena
penyakit yang dapat dicegah dengan vaksinasi.1
Dalam dunia kesehatan
dikenal tiga pilar utama dalam meningkatkan kesehatan masyarakat, yaitu
preventif atau pencegahan, kuratif atau pengobatan, dan rehabilitatif. Dua
puluh tahun terakhir, upaya pencegahan telah membuahkan hasil yang dapat
mengurangi kebutuhan kuratif dan rehabilitatif. Imunisasi sendiri merupakan
suatu upaya pencegahan primer guna menghindari terjadinya sakit atau kejadian
yang dapat mengakibatkan seseorang sakit atau menderita cedera dan cacat.1
Dalam masa 2000-an
tahun terakhir vaksinasi telah berhasil mengontrol sembilan penyakit menular:
cacar, difteri, tetanus, demam kuning, pertusi, poliomyelitis, campak,
gondongan, dan rubella. Eradikasi cacar tercapai pada tahun 1974, dan saat ini
telah dinyatakan eradikasi polio di sebagian tempat di dunia termasuk di
Indonesia yang dinyatakan bebas polio oleh WHO pada tahun 2014.1
Di Indonesia, program
imunisasi nasional dikenal sebagai Pengembangan Program Imunisasi (PPI) yang
dilaksanakan sejak tahun 1977. Imunisasi yang termasuk dalam PPI adalah Hep.B,
BCG, polio, DTP, Hib, dan campak. 1
Program imunisasi
nasional disusun berdasarkan keadaan epidemiologi penyakit yang terjadi saat
itu. Maka jadwal program imunisasi nasional dapat berubah dari tahun ke tahun.
Oleh karena itu, penting untuk mengetahui jadwal program imunisasi nasional
yang terbaru yakni tahun 2014. 1
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi1
Kekebalan
tubuh dapat dimiliki secara pasif maupun aktif. Keduanya dapat diperoleh secara
alami maupun buatan. Kekebalan pasif yang didapatkan secara alami adalah
kekebalan yang didapatkan transplasenta, yaitu antibodi diberikan ibu kandung
secara pasif melalu plasenta kepada janin yang dikandungnya. Sedangkan, kekebalan
pasif (buatan) adalah pemberian antibodi yang sudah disiapkan dan dimasukkan ke
dalam tubuh anak.
Kekebalan
aktif dapat diperoleh pula secara alami maupun buatan. Secara alami, kekebalan
tubuh didapatkan apabila anak terjangkit suatu penyakit, yang berarti masuknya
antigen yang akan merangsang tubuh anak membentuk antibodi sendiri secara aktif
dan menjadi kebal karenanya. Sedangkan, kekebalan aktif (buatan) adalah
pemberian vaksin yang merangsang tubuh manusia secara aktif membentuk antibodi
dan kebal secara spesifik terhadap antigen yang diberikan.
Istilah imunisasi dan vaksinasi
seringkali diartikan sama. Imunisasi pasif adalah suatu pemindahan atau
transfer antibodi secara pasif. Vaksinasi adalah imunisasi aktif dengan
pemberian vaksin (antigen) yang dapat merangsang pembentukan imunitas
(antibodi) oleh sistem imun di dalam tubuh.
2.2 Manfaat
Imunisasi1
Adapun keuntungan yang didapat dari vaksinasi, yaitu
: pertahanan tubuh yang terbentuk oleh beberapa vaksin akan dibawa seumur
hidup, cost-effective karena murah
dan efektif, dan tidak berbahaya (reaksi serius sangat jarang terjadi, jauh
lebih jarang daripada komplikasi yang timbul apabila terserang penyakit
tersebut secara alami).
Selain keuntungan tersebut di atas, imunisasi juga
memiliki dampak secara individu, sosial, dan epidemiologi. Secara singkat,
apabila anak telah mendapatkan imunisasi maka 80-95% diantaranya akan terhindar
dari penyakit infeksi yang ganas. Kekebalan individu ini akan mengakibatkan
pemutusan rantai penularan penyakit dari anak ke anak lain atau kepada orang
dewasa yang hidup bersamanya. Inilah yang disebut keuntungan sosial karena
dalam hal ini 5-20% dari anak-anak yang tidak diimunisasi juga akan terlindung,
disebut herd immunity (kekebalan
komunitas). Maka mendeteksi daerah penularan penyakit melalui program imunisasi
sangat membantu mencari siapa target vaksinasi, sehingga akan tepat sasaran dan
lebih cepat menurunkan insidens penyakit. Upaya tersebut disebut source drying.
Keuntungan lain, seiring angka kesakitan
yang menurun, akan menurun pula biaya pengobatan dan perawatan di rumah sakit.
Selain itu, dengan mencegah seorang anak dari penyakit infeksi yang berbahaya,
berarti akan meningkatkan kualitas hidup anak dan meningkatkan daya
produktivitas di kemudian hari.
2.3 Respon
Imun1,2
Sistem
imun merupakan jaringan kerja kompleks dan interaksi berbagai sel tubuh yang
pada dasarnya bertujuan untuk mengenal dan membedakan antigen, serta
mengeliminasi antigen yang dianggap asing. Secara garis besar respon imun dibedakan
menjadi respon imun non-spesifik dan respon imun spesifik (Gambar 2.1). Respon
imun non-spesifik tidak ditujukan terhadap antigen tertentu sedangkan respon
imun spesifik ditujukan khusus untuk struktur antigen tertentu dan tidak dapat
bereaksi terhadap struktur antigen lain.
Respon imun non-spesifik (non-adaptif,
innate immunity) diperankan oleh sel
makrofag, sel dendrit, neutrofil, dan polimorfonuklear lainnya, sel natural killer, sel-sel jaringan tubuh
(epitel, endotel, sel makrofag jaringan, fibroblast, keratinosit, dll); serta
berbagai produk seperti sitokin, interferon, kemokin, CRP, komplemen, dan
lain-lain. Respon imun non-spesifik dapat teraktivasi dalam beberapa menit atau
jam setelah infeksi dan pajanan antigen dan kemudian akan mengaktivasi sistem
imun spesifik dalam hitungan waktu lebih lama (Gambar 2.1).
Gambar 2.1 Respon imun innate dan respon imun adaptif
Dikutip dari
Abbas, Lichtman, & Pillai : Basic
Immunology: Functions and Disorders of Immune System www.studentconsult.com2
Respon
imun terhadap mikroorganisme bermula pada jaringan non-limfoid dengan pemeran
utama makrofag dan sel dendrite. Aktivasi sel dendrit merupakan pencetus awal
yang menginisiasi respon imun primer. Selain mengikat antigen dengan reseptor
permukaan sel, sel dendrit juga secara aktif melakukan pinositosis dan
menangkap antigen soluble. Ikatan antara antigen dengan salah satu atau
beberapa reseptor sel dendrit menginisiasi tiga langkah awal respon imun yaitu
pemrosesan antigen (antigen processing),
migrasi sel dendrit ke kelenjar limfe, dan maturasi sel dendrit.
Apabila antigen dapat dieliminasi oleh
innate immunity, maka respon imun
spesifik tidak perlu terlibat lebih jauh. Sinyal sistem imun non-spesifik tetap
disampaikan kepada sistem imun spesifik sehingga pada infeksi berikutnya dapat
member respon anamnestik yang bersifat protektif.
Sel dendrit bersama antigen akan
menghasilkan sitokin dan kemokin serta influks sel inflamasi. Sel dendrit
tersebut akan migrasi ke kelenjar limfoid dan berinteraksi dengan sel limfosit
T dan sel limfosit B serta memulai respon imun spesifik. Sel T efektor dan
antibodi akan meninggalkan kelenjar limfoid, sebagian akan berada di sirkulasi
dan akan ke tempat inflamasi.
2.4 Jenis Vaksin1
Secara garis
besar vaksin dapat dibagi menjadi dua kelompok jenis vaksin, yaitu vaksin dari
mikroba hidup dilemahkan (vaksin hidup) dan vaksin mikroba yang diinaktivasi
(vaksin inaktivasi). Vaksin hidup dibuat dengan memodifikasi virus atau bakteri
patogen di laboratorium. Vaksin inaktivasi dapat berupa virus atau bakteri utuh
(whole cell) atau fraksi patogen,
atau gabungan keduanya.
Vaksin
fraksional dapat berbasis protein atau polisakarida. Vaksin berbasis protein
dapat berupa toksoid (toksin bakteri inaktif), dan produk subunit atau
subvirion. Vaksin berbasis polisakarida umumnya terbuat dari polisakarida murni
dinding sel bakteri, atau dapat juga dikonjugasikan secara kimiawi dengan
protein sehingga sifat antigenik vaksin polisakarida tersebut menjadi lebih
poten.
Vaksin hidup
bersifat labil dan mudah rusak oleh paparan suhu panas dan cahaya, sehingga
harus dibawa dan disimpan dengan cara aman dari penyebab kerusakan tersebut.
Virus atau bakteri dalam vaksin hidup diharapkan dapat bereplikasi dalam tubuh
penerima vaksin sehingga cukup diberikan dalam dosis relatif kecil. Contoh
vaksin hidup misalnya vaksin campak, gondongan, rubela, vaksinia, varisela,
demam kuning, polio (oral), dan BCG.
Vaksin inaktif
tidak mengandung mikroba hidup, tidak bereplikasi, dan tidak berpotensi
menimbulkan penyakit. Vaksin inaktif diberikan melalui suntikan, selalu dengan
dosis multipel, dan umumnya tidak dipengaruhi oleh antibodi sirkulasi. Vaksin
inaktif juga memerlukan penguatan (booster)
karena antibodi yang terbentuk akan menurun seiring dengn perjalanan waktu.
Respon imun yang terbentuk sebagian besar bersifat humoral dan hanya sedikit
merangsang respon imun seluler. Contoh vaksin inaktif sel utuh : vaksin
influenza, rabies, hepatitis A, polio (suntikan), pertusis, kolera. Vaksin
inaktif fraksional dan subunit misalnya vaksin hepatitis B, influenza, pertusis
aselular, toksoid (difteri, tetanus).
Selain kedua
jenis vaksin tadi, dikenal pula vaksin rekombinan yang dibentuk dengan rekayasa
genetik. Contohnya : vaksin hepatitis B rekombinan, vaksin tifoid Ty21a, dan
vaksin influenza LAIV.
Respon
terhadap dosis pertama vaksin inaktif lebih bersifat sebagai pembentukan respon
imun awal (priming) yang menjadi
dasar pembentukan imunitas protektif. Dosis berikutnya pada vaksinasi primer
merupakan vaksinasi ulang yang membentuk tingkat antibodi protektif. Vaksinasi
ulang diberikan saat respon imun terhadap dosis pertama atau dosis sebelumnya
pada vaksinasi primer mulai menurun, pada umumnya 4-6 minggu setelah dosis
sebelumnya. Tergantung dari karakteristik antigen vaksin inaktif, maka vaksin
penguatan perlu diberikan satu atau beberapa kali untuk mencapai tingkat
kekebalan protektif primer (Gambar 2.2). Sedangkan, vaksin hidup umumnya
diberikan satu kali sebagai vaksinasi primer dan tidak memerlukan vaksinasi
ulang.
Gambar 2.2 Respon imun terhadap imunisasi
Dikutip dari Abbas, Lichtman, & Pillai : Basic Immunology: Functions and Disorders of Immune System www.studentconsult.com2
2.5 Jadwal Imunisasi 1,3
Jadwal imunisasi terbaru yang
direkomendasikan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia tahun 2014 adalah sebagai
berikut :
Gambar 2.3 Jadwal Imunisasi Anak Umur 0-18 Tahun
Dikutip dari
Ikatan Dokter Anak Indonesia :
http://idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-idai-2014.html3
Rekomendasi imunisasi ini berlaku
mulai 1 Januari 2014. Angka dalam kolom umur tabel mencerminkan umur dalam
bulan (atau tahun) mulai 0 hari sampai 29 hari ( atau 11 bulan 29 hari untuk
tahun). Adapun hal-hal yang diperbaharui pada jadwal imunisasi 2014 adalah
sebagai berikut.
1. Vaksin Hepatitis B.
Paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan didahului pemberian
injeksi vitamin K1. Hal tersebut penting untuk mencegah terjadinya perdarahan
akibat defisiensi vitamin K. Bayi lahir dari ibu HbsAg positif, diberikan
vaksin hepatitis B dan HBIg pada
ekstremitas yang berbeda, untuk mencegah infeksi perinatal yang beresiko tinggi
untuk terjadinya hepatitis B kronik. Vaksinasi hepatitis B selanjutnya dapat
menggunakan vaksin hepatitis B monovalen atau vaksin kombinasi.
2. Vaksin Polio.
Pada saat bayi lahir atau saat dipulangkan harus diberikan vaksin polio oral
(OPV-0). Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3 dan polio booster dapat
diberikan vaksin polio oral (OPV) atau inaktivasi (IPV), namun sebaiknya paling
sedikit mendapat satu dosis vaksin IPV.
3. Vaksin BCG.
Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bulan, optimal diberikan pada umur 2
bulan. Apabila diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji antibodi.
4. Vaksin DTP.
Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada umur 6 minggu. Dapat diberikan
vaksin DTwP atau DtaP atau kombinasi dengan vaksin lain. Untuk anak umur lebih
dari 7 tahun DTP yang diberikan harus vaksin Td, di booster setiap 10 tahun.
5. Vaksin Campak.
Imunisasi campak menurut Permenkes No.42 tahun 2013, diberikan 3 kali pada umur
9 bulan, 2 tahun, dan pada SD kelas 1 (program BIAS). Untuk anak yang telah
mendapat imunisasi MMR umur 15 bulan, imunisasi campak umur 2 tahun tidak
diperlukan.
6. Vaksin Pneumokokus (PCV).
Apabila diberikan pada umur 7-12 bulan, PCV diberikan 3 kali dengan interval 2
bulan; pada umur lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu dosis booster
1 kali pada umur lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis
terakhir. Pada anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali.
7. Vaksin Rotavirus.
Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, vaksin rotavirus pentavalen
diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus monovalen dosis I diberikan umur 6-14
minggu, dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Sebaiknya vaksin
rotavirus monovalen selesai diberikan sebelum umur 16 minggu dan tidak
melampaui umur 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen: dosis ke-1 diberikan
umur 6-14 minggu, interval dosis ke-2, dosis ke-3 diberikan pada umur kurang
dari 32 minggu (interval minimal 4 minggu).
8. Vaksin Varisela.
Vaksin varisela dapat diberikan setelah umur 12 bulan, namun terbaik pada umur
sebelum masuk sekolah dasar. Bila diberikan pada umur lebih dari 12 tahun,
perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu.
9. Vaksin Influenza.
Vaksin influenza diberikan pada umur minimal 6 bulan, diulang setiap tahun.
Untuk imunisasi pertama kali (primary
immunization) pada anak umur kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan
interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6 – <36 bulan, dosis 0,25 mL.
10. Vaksin Human papiloma virus (HPV).
Vaksin HPV dapat diberikan mulai umur 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan
tiga kali dengan interval 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV antibodi dengan interval 0, 2, 6 bulan.
2.6 Imunisasi
Program Nasional1,4
Imunisasi program nasional meliputi
BCG, polio, hepatitis B, DTP, Hib, campak, dan Td.
a)
BCG
Gambar 2.4 Vaksin BCG Kering
Deskripsi : Vaksin BCG
merupakan vaksin beku kering yang mengandung Mycobacterium bovis hidup yang dilemahkan (Bacillus Calmette Guerin), strain Paris (vaksin hidup). Oleh karena
itu, tidak diberikan pada pasien imunokompromais (leukemia, anak yang sedang
mendapatkan pengobatan steroid jangka panjang, atau bayi yang telah diketahui
atau dicurigai menderita HIV
Komposisi : Tiap ampul
vaksin mengandung BCG hidup 1,5 mg
Pelarut mengandung Natrium klorida 0,9 % (4cc)
Indikasi : Pencegahan
terhadap penyakit tuberkulosa
Posologi : Vaksin dilarutkan dengan menambahkan 4cc
pelarut pada satu vial vaksin kemudian diambil 0,05mL. Sebelum pemberian
suntikan kulit tidak boleh dibersihkan dengan antiseptic. Vaksin yang telah
dilarutkan harus diamati secara visual. Jika tampak benda asing maka vaksin
harus dibuang.
Gunakan
syringe dan jarum steril untuk setiap penyuntikan. Vaksin BCG sensitif terhadap
sinar ultraviolet, maka harus dilindungi dari sinar matahari.
Penyimpanan : Jika setelah
dilarutkan tidak segera digunakan maka disimpan pada suhu antara +2°C s/d +8°C,
selama maksimal 3 jam.
Dosis : 0.05 mL
Pemberian : Intrakutan di
daerah lengan kanan atas pada insersio m.
deltoideus sesuai anjuran WHO, tidak di tempat lain (misalnya bokong atau
paha). Hal ini mengingat penyuntikan
secara intradermal di daerah deltoid lebih mudah
dilakukan (jaringan lemak subkutis tipis), ulkus yang terbentuk tidak
mengganggu struktur otot setempat (dibandingkan di daerah gluteal lateral atau
paha anterior), dan sebagai tanda baku untuk keperluan diagnosis apabila
diperlukan.
Imunisasi ulang : tidak
dianjurkan
Masa kadaluarsa : satu tahun setelah tanggal
pengeluaran (dapat dilihat pada label)
Reaksi
imunisasi : biasanya tidak demam
Efek samping : Reaksi lokal yang
timbul setelah imunisasi BCG adalah wajar. Suatu pembengkakan kecil, merah,
lembut biasanya timbul pada daerah bekas suntikan, yang kemudian berubah
menjadi vesikel kecil, dan kemudian menjadi sebuah ulkus dalam waktu 2 - 4
minggu. Reaksi ini biasanya hilang dalam 2 – 5 bulan, dan umumnya pada
anak-anak akan meninggalkan bekas berupa jaringan parut dengan diameter 2 – 10
mm. Jarang sekali nodus dan ulkus tetap bertahan. Kadang-kadang pembesaran
kelenjar getah bening pada daerah ketiak dapat timbul 2 – 4 bulan setelah
imunisasi. Sangat jarang sekali pembesaran kelenjar getah bening tersebut
menjadi supuratif. Suntikan yang kurang hati-hati dapat menimbulkan abses dan
jaringan parut.
Indikasi kontra : tidak ada larangan,
kecuali pada anak yang berpenyakit TBC atau uji mantoux positif dan adanya
penyakit kulit berat/menahun. Juga
kontra indikasi pada defisiensi sistem kekebalan, individu yang terinfeksi HIV
asimtomatis maupun simtomatis tidak boleh menerima vaksinasi BCG.
Jadwal : Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bulan, optimal
diberikan pada umur 2 bulan. Apabila diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu
dilakukan uji tuberculin terlebih dahulu. Vaksin BCG diberikan apabila uji
tuberkulin negatif. Apabila uji tuberculin tidak memungkinkan, BCG dapat
diberikan namun perlu diobservasi dalam waktu 7 hari. Apabila terdapat reaksi
lokal cepat di tempat suntikan (accelerated
local reaction), perlu tindakan lebih lanjut (tanda diagnostik
tuberculosis).
b)
Hepatitis
B
Deskripsi : Vaksin
inaktif, vaksin hepatitis B rekombinan. Vaksin
Hepatitis B rekombinan
mengandung antigen virus Hepatitis B, HBsAg, yang tidak menginfeksi yang
dihasilkan dari biakan sel ragi dengan teknologi rekayasa DNA. Vaksin
Hepatitis B rekombinan berbentuk suspensi steril berwarna keputihan
dalam prefill injection device,
yang dikemas dalam aluminum foil pouch,
and vial.
Gambar 2.5. Vaksin Hepatitis B
Rekombinan
Komposisi : Tiap 1,0
mL mengandung 20 mcg
HBsAg yang teradsorpsi pada 0,5 mg
Al3+.
Tiap 0,5
mL mengandung 10 mcg
HBsAg yang teradsorbsi pada 0,25 mg Al3+.
Seluruh formulasi
mengandung 0,01 w/v% thimerosal yang ditambahkan sebagai pengawet.
Indikasi : Vaksin
Hepatitis B rekombinan
diindikasi- kan untuk imunisasi aktif pada semua
usia, untuk mencegah infeksi
yang disebabkan oleh virus Hepatitis B,
tetapi tidak dapat mencegah infeksi
yang disebabkan oleh virus Hepatitis A, Hepatitis C atau
virus lain yang dapat menginfeksi
hati. Vaksinasi direkomendasikan pada
orang yang beresiko tinggi
terkena infeksi virus
Hepatitis B.
Posologi : Vaksin Hepatitis B rekombinan disuntikkan secara intramuskular, pada orang
dewasa dan anak di bagian
otot deltoid, sedangkan pada bayi
di bagian anterolateral paha. Kecuali pada orang dengan kecenderungan
pendarahan berat (seperti hemofilia),
vaksin diberikan secara subkutan.
Dosis
: 0,5 ml sebanyak 3 kali pemberian (Tabel 2)
Reaksi imunisasi : Nyeri pada tempat
suntikan, yang mungkin disertai rasa panas atau pembengkakan akan menghilang
dalam 2 hari.
Kemasan : HepB-0 monovalen (dalam kemasan uniject), vaksin kombinasi DTP/HepB,
vaksin pentavalen DTP/HepB/Hib. Vaksin Hepatitis B rekombinan dapat
disimpan sampai 26 bulan setelah tanggal produksi pada suhu antara +2°C
s/d +8°C. Jangan dibekukan.
Efek samping : Reaksi lokal yang
umumnya sering dilaporkan adalah rasa
sakit, kemerahan dan pembengkakan di sekitar tempat penyuntikan. Reaksi yang
terjadi bersifat ringan dan biasanya berkurang dalam 2 hari setelah vaksinasi.
Keluhan sistemik seperti demam, sakit kepala, mual, pusing dan rasa lelah belum
dapat dibuktikan karena pemberian
vaksin.
Indikasi kontra : Hipersensitif terhadap
komponen vaksin.Vaksin Hepatitis B Rekombinan sebaiknya tidak diberikan
pada orang yang terinfeksi demam berat. Adanya infeksi
trivial bukan sebagai kontra indikasi
Imunisasi ulang : Pada usia 5 tahun tidak
diperlukan. Dapat dipertimbangkan pada usia 10-12 tahun apabila kadar
pencegahan belum tercapai (anti HBs < 10 ยตg/mL).
Jadwal : Diberikan sedini mungkin (dalam waktu 12
jam) setelah lahir (HepB-1). Imunisasi HepB-2 diberikan setelah 1 bulan dari
imunisasi HepB-1 yaitu saat usia 1 bulan. Untuk mendapat respon imun optimal,
interval imunisasi HepB-2 dengan HepB-3 minimal 2 bulan, terbaik 5 bulan. Maka
imunisasi HepB-3 diberikan pada umur 3-6 bulan (Tabel 1).
Apabila
diketahui HbsAg ibu positif maka ditambahkan hepatitis B immunoglobulin (HBIg)
0,5mL sebelum bayi berumur 7 hari. Pemberian vaksin HepB-1 dan HBIg 0,5mL
diberikan secara bersamaan pada bagian tubuh yang berbeda dalam waktu 12 jam
setelah lahir.
Tabel 1. Jadwal
alternatif 1,2,3 untuk vaksinasi hepatitis B pada anak dan dewasa
Ket: *untuk jadwal
alternatif 2 dan 3 direkomendasikan untuk melakukan booster (vaksinasi ulangan) satu
tahun kemudian.
Tabel 2. Dosis Vaksin Hepatitis B
c)
Polio
Jenis vaksin : (1) OPV (oral polio vaccine) , adalah
vaksin trivalen merupakan cairan berwarna kuning kemerahan dikemas dalam
vial gelas yang mengandung suspensi
dari tipe 1,2, dan 3 virus Polio
hidup (strain Sabin) yang telah dilemahkan. Vaksin Polio Oral ini
merupakan suspensi “drops” untuk diteteskan melalui droper
(secara oral).
(2)
IPV (inactivated polio vaccine),
virus inaktif (salk), injeksi
Gambar 2.6 Vaksin OPV Trivalen dan droper
Komposisi : Tiap dosis (2
tetes = 0,1 mL) mengandung Virus Polio
hidup dilemahkan (strain Sabin) tipe 1,2,dan3
Zat
tambahan :
• Eritromisin
tidak lebih dari 2 mcg
• Kanamisin
tidak lebih dari 10 mcg
• Sukrosa 35
% (v/v) (sebagai zat penstabil)
Indikasi : Vaksin digunakan untuk pencegahan terhadap Poliomyelitis.
Penyimpanan : OPV
: Freezer, suhu -20ยบ C
Dosis : OPV 2 tetes per-oral, IPV 0,5 mL intramuskular
Kemasan : OPV
: vial, disertai pipet tetes
IPV
: dapat diberikan tersendiri atau dalam kemasan kombinasi (DTaP/Hib/IPV)
Masa kadaluarsa : OPV : dua tahun pada suhu
-20°C, Dan hanya dapat disimpan selama 6 bulan pada suhu antara +2°C dan +8°C.
Reaksi imunisasi : biasanya tidak ada,
mungkin pada bayi ada berak-berak ringan
Efek samping : Umumnya tidak terdapat
efek samping. Sangat jarang terjadi kelumpuhan (paralytic poliomyelitis), yang
diakibatkan karena vaksin (perbandingan 1 / 1.000.000 dosis). Individu yang
kontak dengan anak yang telah divaksinasi, jarang sekali beresiko mengalami
lumpuh polio (paralytic poliomyelitis) akibat vaksinasi (perbandingan 1 /
1.400.000 dosis sampai 1 / 3.400.000 dosis). Dan hal ini terjadi bila kontak
belum mempunyai kekebalan terhadap virus polio atau belum pernah diimunisasi. Sindroma
Guillain Barrรฉ.
Kontra Indikasi : Apabila sedang mengalami
diare, dosis OPV yang diberikan tidak akan dihitung sebagai bagian dari jadwal
imunisasi, dan harus diulang setelah sembuh.
Penderita leukemia dan disgammaglobulinemia.
Anak dengan infeksi akut yang disertai demam.
Anak dengan defisiensi sistem kekebalan.
Anak dalam pengobatan imunosu- presif.
Jadwal : Polio-0 diberikan saat bayi lahir atau pada
kunjungan pertama. Mengingat OPV berisi virus polio hidup maka diberikan saat
bayi dipulangkan dari rumah sakit/rumah bersalin untuk menghindari tranmisi
virus vaksin kepada bayi lain yang sakit/imunokompromais karena virus polio
vaksin dapat dieksresi melalui tinja. Selanjutnya dapat diberikan vaksin OPV
atau IPV. Untuk imunisasi dasar (polio-1,2,3) diberikan pada umur 2,4, dan 6
bulan, interval antara dua imunisasi tidak kurang dari 4 minggu.
Imunisasi ulang : Diberikan satu tahun
sejak imunisasi polio-4, selanjutnya saat masuk sekolah (5-6 tahun)
d)
DTwP
(whole-cell pertussis) dan DTaP (acelullar pertussis)
Gambar
2.7 Vaksin DTP
Deskripsi : Vaksin DTP merupakan suspensi koloidal
homogen berwarna putih susu dalam vial gelas, mengandung toksoid tetanus murni,
toksoid difteri murni, dan bakteri pertusis yang diinaktivasi, yang teradsorbsi
kedalam aluminium fosfat. Vaksin DTP merupakan jenis vaksin bakteri yang
inaktif.
Komposisi : Tiap
dosis (0,5 mL) mengandung :
Zat
berkhasiat :
•
Toksoid difteri murni 20 Lf
•
Toksoid tetanus murni 7,5 Lf
•
B. pertussis yang diinaktivasi 12 OU
Zat
tambahan:
•
Aluminium fosfat 1,5 mg
•
Thimerosal 0,05 mg
Indikasi : Vaksin
digunakan untuk pencegahan terhadap difteri, tetanus dan pertusis (batuk rejan)
secara simultan pada bayi dan anak-anak.
Dosis : 0,5mL diberikan secara intramuskular, baik untuk imunisasi dasar
maupun ulangan
Penyimpanan
: lemari
es, suhu 2-8ยบ C, tidak boleh dibekukan
Kemasan :
Vial 5 ml, dapat diberikan secara
kombinasi dengan vaksin lain sebagai vaksin tetravalent yaitu DTwP/HepB,
DTaP/Hib, DTwp/Hib, DTaP/IPV, atau vaksin pentavalen DTP/HepB/Hib, DTaP/Hib/IPV
sesuai jadwal (Gambar 2.8)
Gambar 2.8 Vaksin DTP kombinasi
Masa kadaluarsa : Dua tahun setelah tanggal
pengeluaran (dapat dilihat pada label)
Reaksi imunisasi : demam ringan, pembengkakan
dan nyeri di tempat suntikan selama 1-2 hari
Efek samping : Biasanya reaksi lokal
atau sistemik ringan. Sakit, bengkak dan kemerahan pada lokasi suntikan
disertai demam yang bersifat sementara, merupakan kasus terbanyak.
Kadang-kadang reaksi berat seperti demam tinggi, iritabilitas dan histeria
dapat terjadi 24 jam setelah imunisasi. Dilaporkan adanya episode
hypotonichyporesponsive. Kejang karena demam (step) dilaporkan terjadi dengan
perbandingan 1 kasus per 12.500 dosis pemberian. Pemberian asetaminofen pada
4-8 jam setelah imunisasi mengurangi terjadinya demam.
Studi
nasional mengenai ensefalopati (penyakit degeneratif otak) pada anak di Inggris
menunjukkan adanya sedikit peningkatan resiko terjadinya ensefalopati akut
setelah imunisasi DTP.
Namun
demikian, penelitian lebih lanjut oleh States Institute of Medicine, The
Advisory Committee on Immunization Practices, dan the Paediatric Association of
Australia, Canada, The United Kingdom and The United States, menyimpulkan bahwa
data yang didapat tidak menunjukkan adanya hubungan antara DTP dan disfungsi
sistem saraf kronis pada anak. Jadi tidak ada bukti ilmiah bahwa episode
hypotonic-hyperesponsive dan kejang karena demam (step) mempunyai dampak yang
permanen pada anak.
Apabila
sesudah pemberian DTP terjadi reaksi yang berlebihan, dosis imunisasi
berikutnya diganti dengan DT atau DTaP.
Indikasi kontra : Anak yang sakit parah,
anak yang menderita penyakit kejang demam kompleks, anak yang diduga menderita
batuk rejan, anak yang menderita penyakit gangguan kekebalan. Batuk, pilek,
demam atau diare yang ringan bukan merupakan kotraindikasi yang mutlak,
disesuaikan dengan pertimbangan dokter.
Dosis
kedua DTP jangan diberikan pada individu yang mengalami reaksi anafilaktik
terhadap dosis sebelumnya atau terhadap komponen vaksin, hipersensitif terhadap
komponen vaksin,Pada anak-anak yang menderita kelainan saraf, mudah mendapat
kejang, asma dan eksim.
Individu
yang terinfeksi HIV asimtomatis maupun simtomatis, harus divaksinasi DTP
menurut jadwal yang telah ditetapkan.
Jangan
diberikan pada anak-anak usia diatas 5 tahun.
Jadwal : Imunisasi dasar DTP diberikan 3 kali sejak
umur 2 bulan (DTP tidak boleh diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan interval
4-8 minggu. Interval terbaik diberikan 8 minggu, jadi DTP-1 diberikan pada umur
2 bulan, DTP-2 pada umur 4 bulan, dan DTP-3 pada umur 6 bulan. Ulangan booster
DTP-4 diberikan satu tahun setelah DTP-3 yaitu pada umur 18-24 bulan (pada usia
18 bulan sesuai ketentuan WHO) dan DTP-5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun.
Vaksinasi penguat Td diberikan 2 kali sesuai program BIAS (SD kelas 2 dan 3)
e)
Campak
Gambar 2.9 Vaksin Campak Kering
Deskripsi : Vaksin campak
adalah vaksin aktif yaitu vaksin virus hidup yang dilemahkan, merupakan vaksin
beku kering berwarna kekuningan pada vial gelas, yang harus dilarutkan hanya
dengan pelarut yang telah disediakan secara terpisah. Vaksin campak ini berupa
serbuk injeksi.
Komposisi : Tiap dosis (0,5
mL) vaksin yang sudah dilarutkan mengandung:
Zat aktif:
•
Virus Campak strain CAM 70 tidak kurang dari 1.000 CCID50 (Cell Culture
Infective Dose 50)
Zat tambahan:
•
Kanamisin sulfat tidak lebih dari 100 mcg
•
Eritromisin tidak lebih dari 30 mcg
Pelarut mengandung :
•
Air untuk injeksi
Indikasi : Vaksin digunakan untuk pencegahan terhadap
penyakit campak
Penyimpanan : Vaksin campak beku
kering disimpan pada suhu antara +2°C s/d +8°C. Vial vaksin dan pelarut harus
dikirim bersamaan, tetapi pelarut tidak boleh dibekukan dan disimpan pada suhu
kamar. Vaksin harus terlindung dari cahaya. Waktu kadaluarsa 2 tahun. Vaksin
campak yang sudah dilarutkan, sebaiknya digunakan segera, paling lambat 6 jam
setelah dilarutkan, apabila masih bersisa maka harus dimusnahkan.
Dosis : setelah dilarutkan, diberikan dalam satu
dosis 0.5 mL secara subkutan dalam
Kemasan : vial berisi 10 dosis vaksin yang
dibekukeringkan, beserta pelarut 5 ml (aquadest). Kemasan untuk program
imunisasi dasar berbentuk kemasan kering tunggal. Namun ada vaksin dengan
kemasan kering kombinasi dengan vaksin gondong/ mumps dan rubella (campak
jerman) disebut MMR.
Reaksi imunisasi : biasanya tidak terdapat
reaksi. Mungkin terjadi demam ringan dan sedikit bercak merah pada pipi di
bawah telinga pada hari ke 7-8 setelah penyuntikan, atau pembengkakan pada
tempat penyuntikan.
Efek samping : Vaksin campak dapat
mengakibatkan sakit ringan dan bengkak pada lokasi suntikan, yang terjadi 24
jam setelah vaksinasi. Pada 5-15 % kasus terjadi demam (selama 1-2 hari),
biasanya 8-10 hari setelah vaksinasi. Pada 2 % terjadi kasus kemerahan (selama
2 hari), biasanya 7-10 hari setelah vaksinasi.
Kasus
ensefalitis pernah dilaporkan terjadi (perbandingan 1/1.000.000 dosis), kejang
demam (perbandingan 1/3000 dosis ).
Kontra Indikasi : Terdapat beberapa
kontraindikasi pada pemberian vaksin campak. Hal ini sangat penting, khususnya
untuk imunisasi pada anak penderita malnutrisi.
Vaksin
ini sebaiknya tidak diberikan bagi; orang yang alergi terhadap dosis vaksin
campak sebelumnya, wanita hamil karena efek vaksin campak terhadap janin belum
diketahui; orang yang alergi berat terhadap kanamisin dan eritromisin, anak
dengan infeksi akut disertai demam, anak dengan defisiensi sistem kekebalan,
anak dengan pengobatan intensif yang bersifat imunosupresif, anak yang mempunyai
kerentanan tinggi terhadap protein telur.
Jadwal : Usia 9 bulan, 24 bulan, dan 6 tahun (SD
kelas 1 dalam program BIAS). Apabila telah mendapat imunisasi MMR pada usia
15-18 bulan dan ulangan umur 6 tahun; ulangan campak SD kelas 1 tidak
diperlukan.
f)
Haemophillus influenza tipe b (Hib)
Jenis vaksin : Vaksin Hib yang
berisi PRP-T (capsular polysaccharide
polyribosyl ribitol phosphate-konjugasi dengan protein tetanus
Jadwal : Pada usia 2,4,dan 6 bulan. Dapat diberikan
dalam bentuk komninasi (DTwP/Hib, DTap/Hib, DTap/Hib,IPV)
Imunisasi ulang : diulang pada usia 18
bulan
Dosis : 0,5mL, intramuskular.
Kemasan : Vaksin kombinasi tersedia dalam kemasan prefilled syringe 0,5mL. Program
imunisasi nasional menggunakan DTwP/HepB/Hib
BAB
3
KESIMPULAN
Imunisasi
merupakan bagian yang penting dalam tahap kehidupan seorang anak karena
berfungsi sebagai pencegahan primer terhadap penyakit infeksi. Dalam imunisasi
aktif atau vaksinasi, sistem imunitas tubuh dirangsang untuk mengenali dan
memproduksi antibodi terhadap suatu bakteri atau virus penyebab penyakit
tertentu sehingga tubuh memiliki pertahanan yang lebih baik jika sewaktu-waktu
terinfeksi. Oleh karena itu, sangat penting bagi orangtua dan petugas kesehatan
untuk memastikan seorang anak mendapatkan imunisasi sesuai jadwalnya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Ranuh, IG.N.G., Suyitno, H., Hadinegoro, S.R.S., et al. 2014. Pedoman Imunisasi di
Indonesia Edisi Kelima. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia
2.
Abbas,
A.K., Lichtman, A.H., Pillai, S. 2014. Basic
Immunology: Functions and Disorders
of Immune System. 4th Edition.
Philadelpia : Elsevier. Available from : www.studentconsult.com
3.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jadwal
Imunisasi IDAI 2014 [online]. Available
from http://idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-idai-2014.html
[Accesed January, 1st 2015]
5.
Depkes
RI. 2005. Pedoman
Penyelenggaraan Imunisasi. Jakarta: Depkes RI
6.
Wati, L. Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Kelengkapan Imunisasi Pada Anak Usia 12-23 Bulan di Jawa Barat dan Jawa
Tengah Tahun 2007 [online]. Available from : http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/126060-S-5608-Faktor-faktor%20yang-HA.pdf.
2009 [Accesed January, 1st 2015]
7.
Probandari, A.N., Handayani, S.,
Laksono, N.J.D.N. Modul Field Lab Keterampilan
Imunisasi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret [online]. Available from : http://fk.uns.ac.id/static/filebagian/Imunisasi.pdf
. 2013 [Accesed January, 1st 2015]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar